Bagaimana menkloning Lionel Messi? Barcelona punya jawabannya; membangun sekolah sepakbola di Argentina. Itulah pemikiran di balik pendirian Barcelona Junior Lujan, sebuah sekolah sepakbola di pinggiran Buenoa Aires, tahun 2007. Lewat sekolah ini, Barcelona berupaya menjaring sebanyak mungkin bakat Argentina, dengan menggunakan skema pembinaan usia muda standar internasional. Sekolah menampung mereka yang memiliki impian bermain di klub-klub elite lokal dan Eropa. Jorge Raffo, dalam wawancara dengan sebuah kantor berita, mengatakan sekolah merekrut anak-anak usia sembilan sampai 12 tahun. Harapan Raffo dan pihak sekolah, semoga kelak ada di antara anak-anak ini yang mampu bermain sehebat Messi, Diego Maradona, Mario Kempes, dan Enrique Omar Sivori. "Proyek pembinaan pemain muda ini menghormati esensi pemain sepakbola Argentina melalui pengembangan kualitas, individualitas, pembangunan intelektual dan teamwork, agar kami bisa menemukan pemain berkualitas," ujar Raffo.
Menurut Raffo, ketika membina bocah usia sembilan, 10, dan 11 tahun, siapa pun tidak akan tahu apakah anak-anak itu akan menjadi pemain sepakbola. Yang diketahui adalah anak-anak itu akan menjadi dirinya sendiri. "Di sekolah ini, anak-anak mendapat dukungan, ditemani, dididik, tapi tidak ditekan," kata Raffo. Daniel Vitali, general manager dan legal representatif di Argentina, mengatakan salah satu perhatian utama sekolah ini adalah bagaimana menarik anak-anak dari proses penghancuran diri akibat kemiskinan. "Messi adalah kasus khusus. Dia meninggalkan rumah saat berusia 12 tahun. Sangat menyakitkan bagi Messi dan keluarga. Ia melewati proses keluar dari penghancuran diri akibat kemiskinan," ujar Vitali. Sekolah, masih menurut Vitali, berupaya menghindari anak-anak Argentina keluar negaranya ketika masih sangat mudah. Mereka harus mengembangkan diri di tempatnya, dengan lingkungan keluarga, agar menjadi dewasa secara terarah. Sekolah juga menampung bocah remaja berusia 16 tahun, yang tiba dari seluruh sudut Argentina. Mereka diantar pemandu bakat, disekolahkan di Don Bosco School -- salah satu sekolah favorit di Buenos Aires. Sekolah sepakbola ini memiliki kira-kira 45 orang yang tinggal di asrama, dan 150 lainnya tinggal di rumah-rumah keluarga. Mereka berlatih setiap hari. "Sebanyak 45 bocah sekolah di Don Bosco. Sepulang dari sekolah, mereka tinggal bersama kami. Mereka hanya boleh kembali ke rumah keluarga lima kali dalam setahun," ujar Vitali. "Kami mengijinkan orangtua mereka berkunjung tiga atau empat kali dalam setahun," lanjutnya. Sekolah menerapkan metode pelatihan yang sama seperti yang digunakan di Barcelona. Raffo mengatakan dari sisi olahraga, Barcelona memberikan seluruh metodologinya. Kami wajib memperlihat perkembangan. Model ini sangat berbeda dari yang diterapkan di Argentina. Menurut Raffo, ada pertukaran informasi dengan Barcelona rekaman video sesi latihan. Pelatih, katanya, tidak hanya mengajarkan bermain sepakbola dan membangun kerjasama tapi juga menanamkan nilai-nilai. "Pelatih akan selalu mengatakan jika anak-anak tidak mampu membangun diri sebagai pemain, mereka tidak akan mewujudkan mimpi-mimpinya untuk keluar dari kemiskinan," kata Raffo. Menurut Raffo, sekolah ini seolah sedang berkompetisi di dua turnamen; sepakbola dan membentuk anak-anak yang kelak menjadi arsitek, pengacara, atau akuntan. Sekolah tidak mungkin mendidik seluruh muridnya menjadi pemain hebat. Besar kemungkinan sebagian besar dari anak-anak itu kelak mengubah impiannya, dan menekuni profesi lain.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar